Dampak Pembangunan Urban Pada Keadilan Agraria
THE RICH3 - Pembangunan urban di Indonesia terus mengalami percepatan, terutama di kota-kota besar dan kawasan penyangga. Pemerintah menggencarkan pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, dan perumahan skala besar.
Pembangunan ini dianggap sebagai simbol kemajuan dan modernisasi. Namun, di balik kilau pembangunan tersebut, tersimpan kenyataan pahit bagi banyak kelompok masyarakat. Proses pembangunan yang mengedepankan investasi dan pertumbuhan ekonomi seringkali mengorbankan hak masyarakat atas tanah.
Tanpa adanya prinsip keadilan agraria, proses ini menciptakan ketimpangan struktural. Masyarakat adat, petani, nelayan, dan kelompok marginal menjadi korban dari kebijakan yang bias pembangunan. Mereka dipaksa meninggalkan lahan warisan leluhur tanpa ganti rugi memadai.
Praktik perampasan tanah menjadi lazim dengan dalih kepentingan umum. Keadilan agraria menjadi isu sentral yang sering diabaikan dalam tata ruang kota. Pemerintah jarang melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Akibatnya, konflik agraria terus meningkat, baik dari segi jumlah maupun intensitas. Artikel ini akan membahas dampak pembangunan urban terhadap keadilan agraria melalui beberapa aspek. Kita akan menelaah bentuk ketimpangan agraria, dampak sosial ekonomi, serta upaya advokasi masyarakat sipil.
Artikel ini juga mengangkat studi kasus nyata untuk menunjukkan kompleksitas persoalan. Tujuannya adalah memberikan gambaran menyeluruh mengenai urgensi pembaruan agraria yang adil dan berkelanjutan di tengah ekspansi urbanisasi.
Baca Juga: Batas Harga Rumah yang Bisa Dibeli di Jabodetabek, Gaji Harus Rp 15 Juta?
Ketimpangan Penguasaan Tanah dalam Pembangunan Kota
Ketimpangan penguasaan tanah menjadi masalah utama dalam proses pembangunan kota. Pembangunan urban membutuhkan lahan dalam skala besar. Pemerintah dan investor swasta kerap mengambil alih lahan masyarakat secara sepihak.
Proses pengadaan tanah tidak selalu melalui prosedur yang adil dan transparan. Lahan yang telah dikuasai turun-temurun oleh petani atau masyarakat adat dianggap tidak memiliki legalitas hukum. Sertifikat tanah menjadi syarat utama pengakuan negara atas kepemilikan lahan.
Namun, banyak masyarakat adat tidak memiliki dokumen tersebut karena sistem hukum yang tidak inklusif. Ketika lahan mereka diambil, mereka tidak memiliki kekuatan hukum untuk menolak.
Akibatnya, banyak masyarakat tergusur dan kehilangan sumber penghidupan. Pembangunan justru menciptakan pemiskinan baru bagi mereka yang tersingkir. Ketimpangan ini tidak hanya berdampak secara fisik tetapi juga sosial dan psikologis.
Masyarakat merasa kehilangan identitas dan akar budaya mereka. Oleh karena itu, pembangunan kota harus dilakukan dengan memperhatikan hak masyarakat atas tanah.
Baca Juga: Penting Segera Tingkatkan Girik Jadi SHM, Begini Cara Lengkapnya
Kasus Tiomerli Sitinjak dan Pematangsiantar
Kisah Tiomerli Sitinjak di Pematangsiantar menggambarkan ketidakadilan agraria secara nyata. Selama lebih dari 20 tahun, ia dan keluarganya bertani di lahan warisan leluhur. Lahan tersebut dulunya dirampas oleh perusahaan perkebunan pada tahun 1969.
Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan berakhir pada tahun 2004. Masyarakat kemudian kembali mengelola lahan tersebut dan membangun fasilitas umum. Namun pada 2022, perusahaan yang sama kembali mendapat HGU tanpa persetujuan masyarakat.
Dengan kekuatan alat berat dan ratusan orang, mereka menghancurkan tanaman dan rumah warga. Tiomerli bersama warga menghadang ekskavator demi mempertahankan tanah mereka. Kehidupan mereka berubah drastis.
Mereka tak lagi bisa bertani dengan tenang. Tanaman rusak, rumah hancur, dan keamanan terganggu. Masyarakat yang dulunya hidup sebagai petani kini menjadi buruh serabutan. Perjuangan hukum terus dilakukan, tetapi hasilnya nihil.
Regulasi yang ada tidak mampu melindungi hak masyarakat. Kisah ini menunjukkan lemahnya posisi masyarakat dalam menghadapi korporasi besar. Negara seharusnya hadir melindungi rakyat, bukan justru berpihak pada kepentingan modal.
Baca Juga: Berapa Persen Keuntungan Bisnis Properti? Ini Rinciannya
Dampak Sosial dan Ekonomi Bagi Masyarakat Tergusur
Pembangunan yang tidak memperhatikan keadilan agraria menimbulkan dampak sosial dan ekonomi serius. Masyarakat yang kehilangan tanah kehilangan sumber penghidupan utama. Petani yang selama ini bergantung pada lahan tidak bisa lagi menanam.
Nelayan yang tergusur dari pesisir kehilangan akses ke laut. Perempuan mengalami beban ganda karena kehilangan mata pencaharian dan harus mengurus keluarga. Anak-anak terancam putus sekolah karena orang tua tidak mampu membiayai pendidikan.
Secara sosial, masyarakat mengalami disintegrasi. Komunitas yang tadinya solid tercerai-berai karena penggusuran. Trauma psikologis juga dialami oleh mereka yang mengalami kekerasan saat penggusuran. Ketimpangan ini memperdalam jurang kemiskinan di perkotaan.
Ketika kelompok miskin terusir dari kota, mereka terpaksa tinggal di pinggiran tanpa fasilitas dasar. Keadilan sosial menjadi ilusi dalam wajah kota yang tampak megah. Pemerintah perlu merancang kebijakan pembangunan yang inklusif dan berpihak pada rakyat kecil. Tanpa itu, pembangunan hanya akan memperkuat ketimpangan struktural.
Baca Juga: 10 Contoh Usaha Properti yang Menguntungkan di Indonesia
Peran Perempuan dalam Perjuangan Agraria
Perempuan memainkan peran penting dalam perjuangan agraria. Mereka tidak hanya menjadi korban tetapi juga pemimpin gerakan. Seperti Tiomerli Sitinjak, banyak perempuan berdiri di garis depan melawan ketidakadilan.
Perempuan seringkali lebih dekat dengan lahan karena terlibat langsung dalam pertanian. Ketika lahan dirampas, mereka yang pertama kali merasakan dampaknya. Perempuan juga menjadi penggerak solidaritas dalam komunitas.
Mereka mengorganisasi protes, audiensi, dan kampanye publik. Dalam forum-forum advokasi, suara perempuan mulai mendapat tempat. Mereka membawa perspektif yang lebih holistik dan inklusif. Namun perjuangan perempuan seringkali tidak diakui secara formal.
Mereka harus menghadapi patriarki di dalam dan di luar komunitas. Oleh karena itu, gerakan agraria perlu memberikan ruang lebih luas bagi kepemimpinan perempuan. Pengakuan atas peran mereka penting untuk membangun keadilan agraria yang sejati.
Upaya Advokasi dan Tuntutan Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil terus mengadvokasi keadilan agraria melalui berbagai cara. Organisasi seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) aktif memperjuangkan hak atas tanah. Mereka mendokumentasikan kasus, melakukan kampanye, dan melobi pemerintah.
Forum seperti Asia Land Forum (ALF) menjadi ruang penting untuk menyuarakan isu ini di tingkat internasional. Di tingkat lokal, masyarakat mengorganisasi diri dalam serikat petani dan komunitas adat. Mereka melakukan aksi damai, unjuk rasa, dan pendekatan hukum.
Tuntutan utama mereka adalah pengakuan hak atas tanah yang dikelola secara turun-temurun. Mereka juga menuntut reforma agraria yang sejati dan bukan sekadar redistribusi administratif. Pemerintah perlu membuka ruang dialog dengan masyarakat terdampak.
Hanya dengan keterlibatan langsung, kebijakan dapat mencerminkan keadilan sejati. Selain itu, penguatan hukum agraria dan perlindungan hak masyarakat adat harus menjadi prioritas. Advokasi ini merupakan bagian penting dari demokrasi yang sehat dan inklusif.
Tantangan dalam Mewujudkan Keadilan Agraria
Mewujudkan keadilan agraria bukanlah perkara mudah. Banyak tantangan struktural yang harus dihadapi. Pertama, adanya dominasi kepentingan ekonomi dalam kebijakan pembangunan. Pemerintah seringkali mengutamakan investasi ketimbang perlindungan rakyat.
Kedua, lemahnya regulasi dan penegakan hukum. Banyak kasus konflik agraria tidak pernah diselesaikan secara adil. Ketiga, rendahnya akses masyarakat terhadap informasi dan hak hukum. Banyak warga tidak memahami proses hukum dan cara memperjuangkan hak mereka.
Keempat, korupsi dalam birokrasi pengadaan tanah memperburuk keadaan. Untuk mengatasi tantangan ini, perlu komitmen politik yang kuat dari semua pihak. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik harus dijadikan prinsip dasar. Pendidikan hukum dan agraria juga harus diperluas ke komunitas akar rumput. Hanya dengan membangun kesadaran kolektif, keadilan agraria bisa terwujud.
Kesimpulan
Pembangunan urban tanpa keadilan agraria akan menciptakan ketimpangan yang makin melebar. Kasus seperti yang dialami Tiomerli Sitinjak hanyalah puncak gunung es dari persoalan sistemik. Masyarakat adat, petani, dan kelompok rentan terus mengalami penggusuran.
Tanah yang menjadi sumber hidup mereka dirampas demi kepentingan ekonomi. Keadilan agraria harus menjadi pijakan dalam setiap kebijakan pembangunan. Negara wajib melindungi hak rakyat atas tanah sebagai bentuk keadilan sosial.
Advokasi masyarakat sipil telah menunjukkan perlawanan yang kuat dan bermakna. Perempuan memainkan peran penting dalam gerakan ini. Meski banyak tantangan, harapan tetap ada. Dengan keterlibatan aktif semua pihak, pembangunan bisa diarahkan untuk kepentingan bersama.
Keadilan agraria bukan hanya soal tanah, tetapi juga soal martabat, budaya, dan keberlangsungan hidup. Maka, sudah saatnya pembangunan kota dibarengi dengan penghormatan atas hak agraria rakyat. (Therich3/Admin)
Belum ada Komentar untuk "Dampak Pembangunan Urban Pada Keadilan Agraria"
Posting Komentar