Kepastian Pemerintah untuk Realisasikan Program 3 Juta Rumah - The Rich3

Kepastian Pemerintah untuk Realisasikan Program 3 Juta Rumah

Kepastian Pemerintah untuk Realisasikan Program 3 Juta Rumah

THE RICH3 - Mimpi punya rumah sendiri bukan hal baru. Itu sudah jadi harapan sejuta umat di negeri ini. Banyak orang rela menabung bertahun-tahun, bekerja tanpa henti, dan mengorbankan keinginan lain hanya demi satu hal: atap di atas kepala yang bisa disebut milik sendiri. 

Tapi sayangnya, mimpi ini seringkali mentok di realita yang keras. Harga tanah makin gila, harga rumah makin sulit dijangkau, dan ketersediaan hunian terjangkau masih sangat terbatas. Nah, di tengah kondisi inilah, muncul janji besar dari Presiden Prabowo Subianto: membangun 3 juta rumah setiap tahun. Janji yang terdengar manis dan penuh harapan. 

Apalagi, saat ini backlog perumahan nasional mencapai 9,9 juta unit menurut data BPS (Susenas 2023). Artinya, ada hampir 10 juta keluarga yang belum memiliki rumah layak. Jadi, ketika pemerintah mengumumkan target ambisius ini, banyak yang menaruh ekspektasi tinggi. Tapi waktu terus berjalan, dan kini sudah masuk bulan ketujuh masa kerja kabinet. Pertanyaannya: sudah sejauh mana realisasinya?

Baca Juga: Begini Tips Jual Rumah Cepat Laku yang Efektif, Wajib Dicoba!

Janji Presiden, Realisasi Menteri: Siapa Menjawab Apa?

Sejak dilantik Oktober 2024, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, tampil penuh semangat. Bersama Fahri Hamzah sebagai wakilnya, mereka menjanjikan pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), termasuk di desa dan kota. 

Targetnya jelas: 3 juta rumah per tahun. Tapi janji ini langsung mendapat sorotan dari parlemen. DPR RI, khususnya Komisi V, langsung mempertanyakan kejelasan rencana tersebut. Kata mereka, tidak ada peta jalan yang konkret. 

Bahkan, anggota Fraksi PKS Yanuar Arif Wibowo menyebut program ini hanya “omon-omon”—alias omong kosong. Menurutnya, sudah masuk bulan Mei, tapi anggaran belum jelas, pelaksana teknis belum ada, dan capaian baru 7 persen. Angka yang terlalu kecil untuk program sebesar ini.

Baca Juga: Ini Gaji Minimal untuk Ambil KPR Subsidi, Kamu Termasuk?

Ini bukan sekadar kritik kosong. Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Haryanto, juga menyoroti skema pembiayaan. Ia menyebut bahwa jika hanya mengandalkan BSPS (Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya) senilai Rp 20 juta per unit, maka butuh dana hingga Rp 60 triliun per tahun. 

Sebuah jumlah yang sangat besar di tengah keterbatasan fiskal negara. Jadi, siapa yang akan menanggung biaya sisanya? Pemerintah? Swasta? Atau masyarakat sendiri? Sampai sekarang, jawabannya masih menggantung.

Backlog Perumahan: Masalah Lama yang Tak Pernah Selesai

Masalah perumahan bukan hal baru di Indonesia. Istilah backlog perumahan sudah muncul sejak era Orde Baru. Tapi sampai sekarang, masalahnya tetap sama: kesenjangan antara jumlah rumah yang tersedia dengan jumlah rumah yang dibutuhkan. 

Data terakhir dari BPS (Susenas 2023) mencatat backlog mencapai 9,9 juta unit. Artinya, hampir 10 juta keluarga di Indonesia belum memiliki rumah layak huni. Ini bukan angka kecil. Dan jika tidak segera ditangani, angka ini bisa terus membengkak seiring pertumbuhan penduduk dan urbanisasi.

Baca Juga: Kriteria Rumah Layak Huni, Ini Penjelasannya Menurut Ahlinya

Program 3 juta rumah per tahun jelas dirancang untuk mengatasi masalah ini. Dengan hitungan kasar, jika program ini berjalan selama lima tahun saja, sudah bisa memangkas backlog lebih dari separuhnya. Tapi itu semua hanya bisa terjadi jika program benar-benar berjalan, bukan sekadar janji di atas kertas.

Skema dan Strategi: Bangun Dimana, Untuk Siapa, dan Dengan Apa?

Menurut rencana yang diumumkan, program ini akan membangun 2 juta rumah di pedesaan dan pesisir, serta 1 juta rumah susun sederhana milik (rusunami) di perkotaan. Targetnya adalah kelompok MBR, termasuk TNI, Polri, ASN golongan rendah, guru, dan kelompok rentan lainnya. Cicilannya dijanjikan ringan, sekitar Rp 600.000 per bulan atau Rp 7,2 juta per tahun. Skema ini terdengar cukup ideal di atas kertas.

Namun masalahnya, rencana ini belum dilengkapi dengan skema pelaksanaan yang matang. Kapan mulai pembangunan massal? Bagaimana mekanisme pembiayaan? Lahan dari mana? Siapa yang membangun? Kapan serah terima unit? Semua itu belum dijelaskan secara gamblang. 

Baca Juga: Tingkat Penjualan Rumah Membaik Awal Tahun 2025, Tipe Rumah Ini Jadi Pemicunya

Bahkan Ketua Himperra, Ari Tri Priyono, menyebut situasi ini “gelap gulita”. Para pengembang pun kebingungan. Mereka tidak tahu ke mana harus bergerak karena tidak ada arahan konkret dari pemerintah.

CSR dan Swasta: Antara Inisiatif Baik dan Tambal Sulam

Meski pemerintah pusat belum bergerak maksimal, beberapa perusahaan swasta mulai ambil bagian melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR). Misalnya, Agung Sedayu Group dan Salim Group sudah membangun 500 rumah di Kalimantan Selatan, ditambah 250 unit di Banten. 

PT Astra International juga menjanjikan 250 unit, dan PT Harum Energy sudah merealisasikan 65 rumah. PT Adaro bahkan menyumbang 500 rumah. Ada juga Lippo Group yang merenovasi 1.500 rumah di beberapa kota besar.

Baca Juga: Tips Memilih Arsitek Terpercaya, Perhatikan Agar Tak Salah Pilih!

Secara total, hingga Mei 2025, sekitar lebih dari 7.000 rumah telah direalisasikan melalui CSR. Angka ini tentu patut diapresiasi. Tapi tetap saja, itu jauh dari target 3 juta unit per tahun. Bantuan swasta tidak bisa dijadikan tulang punggung. Harus ada skema pembiayaan yang kuat dan berkelanjutan dari negara.

Anggaran Minim, Target Maksimal: Logis atau Utopis?

Salah satu masalah utama dari program ini adalah keterbatasan anggaran. Pada 2024, anggaran perumahan sempat mencapai Rp 14,3 triliun. Tapi pada 2025, angka ini turun drastis menjadi Rp 5,078 triliun. Padahal, untuk membangun 3 juta rumah, dibutuhkan dana puluhan triliun setiap tahunnya. Tanpa dukungan anggaran yang signifikan, program ini akan jalan di tempat.

Maruarar Sirait atau yang akrab disapa Ara, tetap optimis. Ia mengatakan bahwa semua cara akan ditempuh, termasuk kerja sama lintas sektor. Tapi tetap saja, logikanya sulit. Dengan anggaran minim, lahan terbatas, dan birokrasi yang rumit, program ini butuh keajaiban untuk bisa tercapai. 

Baca Juga: Rencana Pembangunan Hotel Bintang 5 di Mandalika, Investasi Rp 2,1 Triliun

Bahkan, jika menggunakan dana BSPS, satu unit rumah saja butuh Rp 20 juta. Dikalikan 3 juta unit, berarti perlu Rp 60 triliun. Itu belum termasuk biaya tanah, infrastruktur dasar, dan pengawasan mutu bangunan.

Koordinasi Lintas Kementerian: Kerja Sama atau Jalan Sendiri-sendiri?

Salah satu kunci sukses program ini adalah sinergi antar-kementerian. Ara menyebut telah berkoordinasi dengan Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Dalam Negeri. Mereka juga akan memanfaatkan insentif seperti pembebasan BPHTB dan retribusi PBG. Tapi publik belum melihat hasil nyata dari koordinasi ini.

Banyak yang berharap ada satu badan atau satgas khusus yang benar-benar fokus pada program ini. Bahkan REI meminta DPR untuk mengundang Ketua Satgas Perumahan, Hashim Djojohadikusumo, agar bisa menjelaskan rencana konkret secara terbuka. Tanpa koordinasi yang kuat, program ini akan tercerai-berai, dan ujung-ujungnya, hanya jadi proyek-proyek kecil yang tidak sinkron.

Tantangan Lapangan: Dari Legalitas Tanah Sampai Kualitas Bangunan

Selain soal anggaran, tantangan teknis di lapangan juga tidak bisa dianggap remeh. Pertama adalah soal legalitas lahan. Banyak daerah masih mengalami konflik tanah, sertifikasi yang belum jelas, dan mafia tanah. 

Kedua adalah soal kualitas bangunan. Rumah murah seringkali identik dengan rumah asal jadi. Dinding retak, atap bocor, dan fondasi rapuh bukan hal yang aneh. Kalau kualitas tidak diawasi, rumah yang dibangun bisa jadi malah jadi beban baru bagi penghuninya.

Baca Juga: Batas Harga Rumah yang Bisa Dibeli di Jabodetabek, Gaji Harus Rp 15 Juta?

Masalah ketiga adalah penyaluran yang tidak tepat sasaran. Sudah sering terjadi bantuan perumahan justru jatuh ke tangan yang salah. Ini bisa karena data yang tidak akurat atau permainan oknum. Maka dari itu, Ara berjanji akan memastikan penyaluran rumah tepat sasaran. Tapi janji ini butuh bukti, bukan sekadar retorika.

Apa Kata Masyarakat? Harapan yang Mulai Pudar

Di media sosial dan berbagai forum, suara masyarakat mulai terdengar kecewa. Banyak yang awalnya optimis, kini mulai bertanya-tanya: apakah program ini nyata atau sekadar mimpi? Sudah banyak yang mendaftar sebagai penerima manfaat, tapi belum ada kabar lanjutan. Ada yang sudah dapat janji rumah sejak tahun lalu, tapi belum ada tanda-tanda pembangunan.

Kekecewaan ini makin besar ketika melihat angka realisasi yang baru 7 persen hingga Mei 2025. Artinya, dalam tujuh bulan, baru sekitar 210.000 unit rumah yang berhasil direalisasikan. Itu pun termasuk hasil CSR dan renovasi, bukan pembangunan baru murni dari APBN.

Arah Ke Depan: Masih Mungkin atau Sudah Gagal Sebelum Mulai?

Apakah program 3 juta rumah per tahun masih mungkin tercapai? Jawabannya: masih mungkin, tapi sangat sulit. Dibutuhkan gebrakan besar, anggaran ekstra, dan koordinasi lintas sektor yang luar biasa. Pemerintah juga perlu membuka data secara transparan, melibatkan publik, dan mengundang swasta untuk berkontribusi.

Jika tidak, program ini akan bernasib sama seperti banyak janji kampanye sebelumnya—hilang ditelan waktu dan masalah klasik birokrasi. Padahal, rakyat sudah terlalu sering diberi harapan palsu. Jangan sampai kali ini, harapan punya rumah sendiri lagi-lagi hanya jadi impian kosong.

Penutup: Rumah untuk Semua, Bukan Janji yang Dilupakan

Program 3 juta rumah bukan sekadar proyek infrastruktur. Ini soal martabat. Soal keadilan sosial. Soal memberi kesempatan yang sama kepada semua warga negara untuk memiliki tempat tinggal layak. 

Jika program ini berhasil, maka dampaknya akan luar biasa: ekonomi bergerak, kesejahteraan meningkat, dan mimpi jutaan orang jadi kenyataan. Tapi kalau gagal, maka pemerintah akan kehilangan kepercayaan masyarakat. Karena apa gunanya janji jika tidak ditepati?

Pemerintah harus sadar, waktu terus berjalan. Jika program ini benar-benar ingin dijalankan, maka aksi nyata harus segera dimulai sekarang. Jangan tunggu besok. Jangan tunggu anggaran cair. Rakyat sudah terlalu lama menunggu. Kini saatnya pemerintah membuktikan: bahwa janji bukan sekadar “omon-omon”, tapi komitmen sejati untuk membangun Indonesia dari fondasi paling dasar—sebuah rumah untuk semua. (Therich3/Admin)

Belum ada Komentar untuk "Kepastian Pemerintah untuk Realisasikan Program 3 Juta Rumah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel